Friday, November 29, 2019

Untuk Negeri Yang Lebih Beradab dan Berilmu

Assalamualaikum...
Annyeong..

Kemarin siang waktu saya membaca Kompas, dada langsung terasa sesak karena miris dan sedih membaca berita yang disuguhkan. Disana disebutkan bahwa Indonesia secara nyata belum siap menghadapi revolusi industri 4.0. Jangankan revolusi 4.0, menurut Bank Dunia, bangsa ini bahkan belum mampu menghadapi revolusi industri 2.0. Bukan hanya itu, Bank dunia juga menyebutkan bahwa rata-rata hasil belajar anak-anak di Jakarta masih lebih buruk dari hasil belajar anak-anak pedesaan di Vietnam. Bayangkan, jika pelajar di Jakarta saja kalah dengan pelajar di pedesaan Vietnam, apa kabar para pelajar di pinggiran seperti kampung saya dan sekitarnya? 

Sedih dan prihatin? Pasti!! Karena jika kita benar-benar mau melek melihat apa yang terjadi di sekitar kita, maka yang dikatakan oleh Bank Dunia bukanlah isapan jempol semata. Bank Dunia menyebutkan bahwa saat ini dunia sedang dilanda Learning Poverty, yaitu kemiskinan dalam belajar. Data menunjukkan bahwa 53% anak usia 10 tahun ke bawah di dunia ini tidak bisa memahami bacaan sederhana yang mereka baca. Dan sayangnya, Indonesia menyumbangkan angka sebesar 47% dari 53% itu. Dengan rincian 74% mereka tak paham akan pembelajaran sains yang mereka baca dan 77% mereka tak paham akan Matematika yang mereka pelajari(INAP/AKSI 2017). Angka yang fantastis bukan? Ya, cukup fantastis untuk kembali mengevaluasi dunia pendidikan dari dasar. 

source: Instagram @1000guru

Sekarang, coba kita tengok anak-anak yang saat ini masih duduk di bangku sekolah dasar. Mungkin benar mereka bisa membaca dengan lancar, namun ternyata mereka tak mampu memahami teks yang mereka baca, meskipun itu hanya bacaan teks sederhana. Kurangnya pemahaman mendasar yang ditekankan saat di sekolah dasar, atau bahkan seringnya anak-anak ditinggalkan oleh gurunya untuk belajar sendiri di kelas, mengakibatkan kemunduran pemahaman yang signifikan. Dan hal ini terus berkelanjutan sampai merembet pada pemahaman sains dan Matematika mereka. Jangankan untuk menjawab soal atau bahkan mengaplikasikan teori dalam kehidupan sehari-hari, membaca dan memahami soal saja mereka masih kewalahan, dan ujung-ujungnya berakhir pada output pendidikan yang kurang bermutu. Pada saat output pendidikan dasar kurang menjanjikan, maka yang terjadi di sekolah menengah adalah macetnya pembelajaran karena ketidaktuntasan materi pada saat di sekolah dasar. Coba tanyakan pada mereka yang saat ini duduk di bangku sekolah menengah, berapa persen dari mereka yang hafal perkalian dan mampu menyamakan penyebut dalam penjumlahan pecahan? Atau tanyalah mereka, berapa persen dari mereka yang mampu menceritakan kembali cerita pendek yang telah mereka baca. Maka dari situ Anda akan percaya bahwa apa yang dikeluhkan guru di sekolah menengah bukan sekedar gito-gito (bohong belaka).

Setiap Orangtua Adalah Guru dan Setiap Guru Adalah Orangtua
Krisisnya dunia pendidikan bukan hanya menjadi tanggung jawab guru maupun pakar pendidikan. Ada sistem yang menaungi semua ini, dan harusnya mampu menjadi pendukung bagi perjuangan para guru mendidik anak muridnya. Dan ada orangtua yang harusnya menjadi motivator utama bagi sang anak dan menjadi pengganti guru saat anak-anak tak lagi di sekolah. Kesadaran orangtua dalam mengontrol perkembangan belajar dan karakter anak menjadi faktor utama keberhasilan dalam pendidikan. Di saat bapak dan ibu guru di sekolah berjuang mati-matian memberi contoh dan membentuk karakter positif bagi peserta didiknya, tanpa teladan dari orangtua semua akan menjadi sia-sia. Oleh karena itu benar bahwa orangtua adalah guru bagi anak-anaknya dan guru adalah orangtua bagi para muridnya, karena kedua pihak inilah yang mempunyai peran penting memberi teladan dan mengajarkan pendidikan moral dan karakter bagi anak-anak. Jika salah satu dari keduanya tak lagi mempunyai kesadaran, bahkan hanya mampu memerintah tanpa memberi teladan, maka sudah dapat dipastikan keberhasilan pendidikan dengan output berkarakter dan berilmu hanya menjadi sebuah wacana belaka. Children see children do. Anak-anak melakukan apa yang mereka lihat bukan yang mereka dengar/diperintahkan. 

Jika Bank Dunia menargetkan tahun 2030 dunia pendidikan harus mampu mengurangi 27% kebutaan pemahaman dalam membaca dengan cara meningkatkan kompetensi guru SD/MI, maka harusnya setiap orangtua juga harus mampu mendukung proses perbaikan ini. Diharapkan setiap orangtua tidak hanya memasrahkan pendidikan dan karakter anak-anaknya pada guru di sekolah, namun juga mampu memberi perhatian dan teladan bagi anak-anak mereka. Guru dan orangtua harus saling bahu membahu dan bekerjasama mendidik anak-anak mereka, tidak ada saling menyalahkan atau saling menuding siapa benar siapa salah. Karena sejatinya tidak ada guru yang ingin anak didiknya gagal dan tidak ada orangtua yang ingin anaknya terhina. Semua ingin anak-anaknya berhasil meski kadang harus mendidik dengan tegas

source: Instagram @1000guru

Knowledge is Power but Character is More
Pendidikan karakter menjadi target utama dalam dunia pendidikan saat ini. Bukan hanya sebagai slogan, namun benar bahwa bangsa ini ini mengalami kemrosotan moral yang luar biasa memprihatinkan. Coba perhatikan anak usia 10 tahun hingga pelajar SMA, berapa banyak dari mereka yang masih menjunjung tinggi adab dan sopan santun terhadap orangtua/guru mereka? Berapa persen dari mereka yang tidak ngeyel saat diingatkan atau dinasehati guru/orangtuanya? Berapa orang remaja yang tidak pernah melontarkan makian, cacian, hate speech atau komentar pedas di sosial media? Dan krisis moral ini harusnya menjadi perhatian utama bagi setiap orangtua dan para praktisi pedidikan. Di saat anak-anak ini belum mampu mengukir prestasi, hal yang paling menyedihkan adalah saat mereka tak mau diajak menjadi pribadi yang baik. Diajak sholat susah, diajak ngaji emoh, dinasehati baik-baik gurunya ditantang, naudzubillah. Prestasi itu kekuatan, namun karakter lebih utama. Menjadi pintar itu modal masa depan, tapi menjadi baik itu jauh lebih penting untuk hidup dunia dan akhirat. Namun sayangnya derasnya informasi yang tak bisa dibendung belum mampu mereka pilah untuk diambil kebaikannya. 

Disinilah PR besar bagi kita orang-orang dewasa untuk menjadi teladan, melakukan kontrol sesuai wewenang dan peran masing-masing, serta tak henti-hentinya mengingatkan anak-anak untuk menjadi manusia yang beriman dan berakhlaqul karimah. Karena di tangan mereka lah bangsa ini akan berlanjut. Jika mereka tak mampu mendidik diri mereka menuju kebaikan dan ilmu, maka entah apa yang akan terjadi pada bangsa ini.
source: google
Wahai para pemuda, bangkitlah! 
Berhentilah mengutuk orangtua dan gurumu yang menasehatimu. 
Berhentilah menjadi sombong hanya dengan segelintir ilmu punyamu
Berhentilah menjadi arogan hanya karena sedikit kelebihan milikmu
Berhentilah melihat konten video tak bermanfaat untuk masa depanmu
Berhentilah menyebarkan ucapan kebencian, komentar jahat dan makian di lini sosial mediamu
Dan berhentilah menjadi malas karena hanya akan menghancurkan duniamu

Bangkitlah, hanya kalian penggerak bangsa ini untuk maju
Bangkitlah, mulailah membaca dan mencerdaskan negeri ini dengan bukumu
Bangkitlah, jadilah pemuda yang mengukir prestasi dan menebarkan kebaikan ilmu
Dan bangkitlah meneladankan karakter unggul pada masyarakatmu

Kami gurumu hanya mampu mengajarkan sedikit ilmu
Kami gurumu hanya mampu mendokan masa depanmu
Dan kami gurumu hanya mampu berbaik sangka, semoga Allah senantiasa merahmatimu

Selamat Hari Guru..semoga setiap orang mampu menjadi teladan dalam menebarkan kebaikan ilmu


No comments:

Post a Comment