Assalamualaikum...
Annyeong...
Tulisan ini merupakan reblog dari tulisan mbak mukti yang tulisan aslinya bisa di lihat disini :
Annyeong...
Tulisan ini merupakan reblog dari tulisan mbak mukti yang tulisan aslinya bisa di lihat disini :
Banyaknya diskusi dan debat kusir tentang ibu bekerja dan ibu tidak bekerja dalam mengasuh anak membuat saya sedikir gerah. Bersyukur menemukan tulisan ini sebagai penerang, oleh karena itu saya reblog dan saya bagi disini. Berikut tulisannya:
Ini merupakan tulisan yang sudah lama saya rencanakan, tapi tertunda terus karena berbagai kesibukan. Tulisan yang lahir karena saya miris dengan saling tuding-menuding. Ini paling baik, itu tidak! Padahal keduanya adalah pilihan.
Sebelum masuk ke hal yang lebih serius, mari sejenak bayangkan dunia ini tanpa ibu-ibu yang mau bekerja di sektor publik. Nggak ada dokter kandungan perempuan, yang ada laki-laki atau dokter yang masih gadis. Nggak ada ibu guru, yang ada pak guru atau bu guru yang masih muda-muda. Nggak ada pembantu rumah tangga perempuan (yang sekedar menyuci nyetrika lalu pulang), karena mereka rerata juga adalah ibu. Nggak ada pedagang perempuan, kecuali yang masih gadis-gadis seusia SPG-SPG itu. Nggak ada psikolog perempuan, konsulnya dengan bapak-bapak psikolog aja. Nggak ada bidan perempuan yang senior, melahirkan pun dengan bidan muda yang baru lulus, atau dokter SpOG yang laki-laki.
Ini memang ekstrim banget ya. Sampai ada yang gemes bilang ke saya, “Sekalian aja dibilang, andai tak ada laki-laki di dunia ini!“. Hoho. Tetapi, kadang, kita perlu berpikir ekstrim untuk melihat, bahwa harmoni kehidupan itu ada justru karena keragaman. Ada ibu yang bekerja, ada ibu yang tak bekerja. Tak ada siapa yang lebih baik dari siapa, kecuali siapa yang paling banyak amalnya. Masing-masing ada peluang dan ada ancamannya. Ibu bekerja relatif sedikit memiliki waktu dengan anak. Namun, ibu di rumah pun tak otomatis lebih baik, karena bisa jadi tidak bekerja di luar tetapi juga belum sepenuhnya perform dalam mengasuh anak, atau sibuk dengan hal lain, termasuk menjadi sosialita, atau bersosmed ria, meskipun di dalam rumah.Jadi mari, saling bersinergi, bukan saling menghakimi :)
Memang kadang terlihat bahwa rumput tetangga lebih hijau. Ibu bekerja (Working Mom, WM) tetaplah ibu, yang juga ingin selalu dekat dengan anak-anaknya. Namun kondisi tiap orang tak sama. Ibu di rumah (Full Time Mother, FTM) pun, juga adalah pilihan, yang kadang tak semua orang memiliki peluang. Dalam keseharian, ibu di rumah kadang juga menginginkan waktu yang tenang, ‘me time’ lebih banyak, tak melulu disibukkan urusan anak-anak. Ibu bekerja kadang iri pada ibu di rumah , ibu di rumah kadang iri pada ibu bekerja. Ini normal saja. tanda bahwa saling cinta :)
Pada tiap rumah tangga, banyak latar belakang yang melahirkan sebuah keputusan. Ada yang suaminya di-PHK, ada yang suaminya tiba-tiba invalid dan tak mampu bekerja. Ada juga ibu yang harus menyantuni dua orang tuanya yang makin renta, sedang penghasilan dari suami tak cukup untuk itu semua. Dan ada pula yang bekerja karena keberadaannya dibutuhkan oleh kaumnya, ibu-ibu dan anak-anak lain. Sepanjang semua bukan sekedar ‘asal bekerja’, berniat membantu sesama, bukankah itu mulia?
Sedang jenis pekerjaan yang lalu mampu dilakukan, tentu tak semua sesuai keinginan. Tak semua ibu bisa mendapatkan penghasilan dengan cara persis seperti apa yang diimpikan. Tapi demi membantu sesama, apa yang di depan mata, itulah cara Allah mengantarkan rizki padanya. Lha opo kantore/juragane mbahe, bisa milih kerjaan sakpenake dhewe? Lantas sepanjang itu halal, kenapa diperdebatkan?
Ada kisah menarik yang ingin saya ceritakan. Tentang bu A, ART yang biasa bekerja di rumah saya setiap harinya lebih kurang 3 jam untuk mencuci, menyetrika & memasak; pekan lalu minta diri. Dia mendapatkan tawaran untuk bekerja full time di tetangga, tentu dengan gaji berlipat. Tawaran itu dia ambil, karena dia memikirkan keinginan anaknya yang sebentar lagi lulus SMA, ingin kuliah. Sementara dia berhitung dari penghasilannya dan penghasilan suaminya yang tukang bubur ayam, belum mencukupi untuk itu. Padahal saya tahu, fisik ibu ini sebenarnya agak lemah, sering sakit kalau kecapekan. Tapi dia nekad menerima tawaran itu, agar anaknya nanti bisa kuliah. Lalu, ART ini akan digantikan seorang ibu B, yang baru datang dari kampungnya di Jawa Tengah. Suaminya stroke, sedang anak-anak tetap butuh makan dan sekolah.
Jika bisa memilih, mungkin para ibu lebih senang untuk mengelola uang pemberian suami, dan mengelola sebuah usaha yg dapat dikelola dari rumah. Tetapi, kesempatan dan peluang tidak berlaku seragam pada tiap orang. Maka apa yang dilakukan ibu A dan B, juga banyak ibu bekerja lainnya, adalah justru wujud MENCINTAI anak-anaknya, wujud tanggung jawabnya pada keluarga.
Bekerja, adalah satu sarana mencintai anak-anak, dengan cara yang tak harus sama. Pahala tetap tercurah karenanya, sebagaimana ibu yang stay di rumah menemani anak-anaknya sepanjang waktu. Kecuali kalau ada ibu bekerja, karena hanya tak betah di rumah saja, hanya untuk pergaulan, atau gengsi semata. Nah yang seperti ini, biar Allah yang menghitung niatnya :)
Lalu, jika memang memilih sebagai ibu bekerja, bersiap-siaplah untuk menjadi ibu yang tidak biasa. Berkurang jadwal tidur kita, juga perlu ketahanan fisik di atas rata-rata, serta mental baja. Salah satu sendi yang utama, tentu adalah keridhaan suami belahan jiwa. Jika kerja tanpa seizinnya, jatuhnya tetap dosa. Dibutuhkan komunikasi dan sinergi dengan suami yang sangat intens, agar ibu bekerja dapat menjalankan amanahnya di rumah maupun di tempat kerja dengan baik.
Saat ibu pulang kerja, bukan berarti saatnya melepas penat seharian. Karena sejak di pagar rumah pun, anak-anak berebut minta perhatian. Pun nanti saat suami datang, tetap harus disambut dengan senyuman. Ibu bekerja harus mampu memilih ‘tombol mental‘ yang pas sesuai kondisi dia berada, sektor domestikkah, atau sektor publikkah.
Seorang ibu bekerja, perlu memastikan bahwa sektor domestik bisa dikendalikan dengan baik, sebelum kakinya melangkah ke sektor publik. Jika sektor domestik belum mampu ditangani dengan baik, maka mungkin kita perlu memikirkan ulang, tentang jenis pekerjaan yang lebih mungkin kita lakukan. Karena jika memaksakan diri, ada pihak-pihak yang akan terzalimi, dan kedua sisi (domestik-publik) tidak berjalan optimal. Sedang idealnya adalah kita bisa fokus, optimal saat di rumah, juga optimal saat di tempat kerja. Bukan sebaliknya, di rumah memikirkan pekerjaan, di tempat kerja memikirkan rumah. Sa’atan wa sa’atan, masing-masing ada saatnya, dan itu perlu manajemen yang baik. Memang tak mudah, namun harus diasah. Jika memang sulit, maka tak perlu memaksakan diri. Kita masih bisa mencari peluang untuk tetap beraktivitas dan bekerja, tanpa perlu banyak meninggalkan rumah.
Sekarang, saya ingin bahas ibu bekerja berkaitan dengan keselarasan antara sektor domestik (keluarga), sektor publik (pekerjaan) dan sektorlangit (bekal agama). Jadi, ada tiga sektor yang harus kita dudukkan, mana yang lebih utama: sektor domestik, sektor publik, sektor langit. Maka, jika ada benturan diantara ketiganya yang tak bisa lagi disiasati, semoga kita tak salah memilih skala prioritas. Dua yang utama adalah sektor langit dan sektor domestik, sedangkan yang satu, sektor publik, sejatinya hanya pilihan, opsional, yang tidak boleh mengorbankan dua sektor sebelumnya.
Seorang ibu bekerja, harus final dulu pemahamannya tentang ini. Apalagi kalau dia memiliki tuntutan/kewajiban untuk berkiprah sebagai salah satu unsur penggerak dakwah. No excuse. Inilah yang saya maksudkan di atas, bahwa ibu bekerja perlu memiliki mental baja, jadwal rehat yang lebih sedikit dari rerata ibu biasa. Jika akhirnya sektor langit dan sektor domestik keteteran karena urusan sektor publik, sesungguhnya, kita belum terlalu siap mental untuk terjun di sektor publik.
Maka sungguh saya tak habis pikir, kalau ada ibu yang bekerja full time di luar rumah, lalu sabtu ahad pun tidak mau disibukkan dengan sektor langit dengan alasan, “Capek ah, saatnya istrahat“, atau “Maaf ya, tapi akhir pekan adalah family time bagi saya“. Lebih saya tidak habis pikir lagi, jika ada suami yang membolehkan istrinya bekerja setiap hari, tetapi justru melarang istrinya jika sabtu/ahad pergi berdakwah atau mengaji.
Mari kita berpikir sejenak. Bukankah ibu bekerja mau repot-repot keluar rumah untuk mencari ‘bekal’ yang secara ekonomis akan membantu biaya dalam keluarga? Memastikan bahwa pendidikan anak-anak terjamin, asupan gizi juga tercukupi, dan itu semua butuh uang, lalu seorang ibu memutuskan untuk membantu suaminya dengan bekerja juga.Lalu, bukankah sektor langit juga sejatinya juga upaya mengumpulkan bekal, yang justru lebih abadi impact-nya dari sekedar bekal ekonomi? Jadi mestinya, justru karena kita sayang pada keluarga lah, dan tetap ingin terus bersama mereka meski nanti ajal memisahkan antar anggota keluarga, maka kita harus mengutamakan sektor langit. Karena dengan hanya mencari bekal untuk sektor langit lah, yang mampu memberikan jaminan bahwa keluarga ini akan tetap utuh meski secara jasad telah terpisahkan.
Nah, lalu kalau saking sibuknya dengan sektor publik, lalu sektor langit hanya menunggu sisa waktu luang, atau menunggu mood datang, barangkali saatnya kita untuk berhenti sejenak. Memikirkan ulang tentang hakikat kehidupan diri yang sejati: Apa yang sesungguhnya kita cari? Benarkah suasana seperti itu yang kita ingini?
'Perhentian sejenak’ seperti ini memang perlu sering dilakukan, supaya naluri kita tak mati rasa, dan kita seolah-olah menjadi robot pekerja, yang tahu-tahu sudah tua dimakan usia. Sia-sia umur kita berbilang tahun, tanpa bekal yang berarti untuk keluarga. Padahal, niat awal kita bekerja, juga adalah demi cinta pada keluarga.
Pada ibu bekerja, juga ada saatnya untuk ‘berubah pikiran’, mengkaji ulang, sesuai keadaan. Seorang teman kuliah saya, di suatu sekolah kedinasan yang tomboy pwol, setelah lulus bekerja dan berkeluarga bertahun-tahun, memilliki anak. Ternyata, salah satu anaknya terindikasi autis. Dia memutuskan untuk cuti di luar tanggungan negara selama 2 tahun untuk mendampingi anaknya itu yang tentu sangat membutuhkannya. Saat cuti 2 tahun habis dan anaknya masih sangat memerlukannya, maka dia memutuskan resign dari PNS. Sayangkah dengan karirnya di PNS? Padahal instansinya dikenal dengan remunerasinya yang ‘membikin cemburu banyak PNS’ lain? Tidak! Sektor domestik jauh lebih utama untuk didahulukan.
Ada juga cerita lain. Istri mantan bos suami, tampak begitu exciting saat saya membawa baby ke kantor suami. Dia banyak memberikan nasehat ini itu, tentang kesehatan bayi, dengan banyak istilah medis. Awalnya saya bingung, bukankah ibu ini FTM? Usut punya usut, ternyata beliau dulu adalah bidan. Tetapi karena suaminya seringkali dipindahtugaskan dan termasuk agak ‘rewel’ urusan makan (pagi-siang-malam menu makanan harus beda), maka dia memutuskan untuk resign dari bidan dan mendampingi suami kemanapun ditugaskan, termasuk pindah tugas ke beberapa negara.
Ini gambaran, bahwa pilihan seseorang bisa berubah menyesuaikan kondisi yang terjadi. Setinggi apapun capaian di sektor publik, kadang ada kondisi di mana ibu bekerja perlu melakukan evaluasi. Bisa karena dikaruniai ABK seperti teman saya itu, bisa juga faktor suami, atau faktor orang tua yang semakin renta. Bisa juga ada jenis pekerjaan yang lebih fleksibel. Evaluasi terus-menerus perlu diperlukan, agar langkah ibu bekerja tidak kebablasan. Karir bukanlah Tuhan yang harus diutamakan, saat sektor domestik atau sektor langit lebih membutuhkan.
Justru, jika kita memberatkan pekerjaan, barangkali perlu kita telisik lagi apa yang ada di hati: Benarkah aku bekerja karena mencintai keluargaku? Atau karena aku memiliki ambisi pribadi dalam pekerjaanku?
Sebagai seorang muslimah, sebagai penutup tulisan ini saya juga ingin sedikit menulis tentang bagaimana kajian tentang ibu bekerja dalam fiqh. Sebelumnya saya harus mengaku dulu bahwa saya sama sekali bukan ahlinya. Tapi paling tidak kita bisa belajar dari beberapa kisah pendahulu. Salah satunya adalah kisah dari sahabat pemberani, putri dari sahabat terpercaya, Abu Bakar As-Shiddiq. Dialah Asma binti Abu Bakar. Dia bercerita, saat dia sudah menikah dengan salah satu mujahid gagah pujaan hatinya,
“Ketika aku menikah dengan Zubair, ia tidak memiliki harta sedikit pun, tidak memiliki tanah, tidak memiliki pembantu untuk membantu pekerjaan, dan juga tidak memiliki sesuatu apa pun. Hanya ada satu unta milikku yang biasa digunakan untuk membawa air, juga seekor kuda. Dengan unta tersebut, kami dapat membawa rumput dan lain-lainnya. Akulah yang menumbuk kurma untuk makanan hewan-hewan tersebut. Aku sendirilah yang mengisi tempat air sampai penuh. Apabila embernya peceh, aku sendirilah yang memperbaikinya. Pekerjaan merawat kuda, seperti mencarikan rumput dan memberinya makan, juga aku sendiri yang melakukannya. Semua pekerjaan yang paling sulit bagiku adalah memberi makan kuda. Aku kurang pandai membuat roti. Untuk membuat roti, biasanya aku hanya mencampurkan gandum dengan air, kemudian kubawa kepada wanita tetangga, yaitu seorang wanita Anshar, agar ia memasakkannya. Ia adalah seorang wanita yang ikhlas. Dialah yang memasakkan roti untukku.”
Artinya apa? Bahwa Asma kurang pandai memasak, seperti saya #eh salah fokus :D
Maksudnya, bahwa Asma juga bekerja, bahkan hingga mencarikan rumput untuk ternaknya. Juga mengurusi kebun kurma, yang letaknya jauh dari rumahnya. Dan semua itu terjadi di zaman Rasul masih hidup, seperti yang dikisahkan oleh Asma, saat ia harus berjalan jauh berkilo-kilo dari kebun kurma menuju rumahnya, sambil membawa beban berat hasil panenan kurma, lalu bertemu rombongan Rasulullah di perjalanan. Rasul sempat menawarkan untuk menaiki salah satu onta di rombongannya, namun Asma menolaknya dan memilih tetap berjalan kaki, karena dia teringat dengan suaminya yang pencemburu. Sampai di rumah, ia berkisah pada suaminya “Tadi aku bertemu Rasulullah SAW ketika aku membawa kurma di atas kepalaku. Beliau disertai beberapa orang sahabat. Beliau menyuruh untanya duduk agar aku pergi bersamanya. Aku merasa malu dan teringat sifatmu yang pencemburu.”Zubair pun menanggapi cerita istrinya, “Demi Allah, keadaanmu membawa kurma di atas kepala lebih memberatkan hatiku dari pada kau naik unta bersama beliau.”Maka bagi saya, Asma adalah perempuan pemberani yang perkasa. Bayangkan, berjalan kaki sekitar 3,4 km dengan menyunggi berkilo-kilo kurma di kepala! Dan dia bekerja dengan keikhlasan yang luar biasa, tidak main ‘nebeng kendaraan’ teman suaminya, meski ditawari.
Kita juga bisa belajar dari kisah perempuan agung istri Rasulullah yang pertama, Hadijah RA. Bukankah beliau seorang pengusaha perempuan yang sukses go international hingga akhir hayatnya? Yang lalu memberikan banyak harta, bahkan hampir seluruhnya, untuk dakwah suaminya? Kita juga bisa belajar dari Ummu Fadhoh, seorang perempuan paruh baya yang bekerja di rumah Fatimah binti Muhammad, istri Ali.
Artinya, pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan oleh ibu rumah tangga semacam ini di luar rumahnya, wajar saja. Asal memang kita memenuhi aturannya secara syar’i. Apa saja itu? Terlalu panjang jika harus dikupas di sini, dan sudah banyak pula yang membahasnya. Silahkan gugling sendiri ya :)
Selain itu, ada juga kaidah tentang hasil dari pekerjaan seorang istri, ”Khusus masalah penghasilan istri yang bekerja, semuanya menjadi haknya. Suami tidak boleh mengambil harta itu sedikitpun, kecuali dengan kerelaan hati istrinya.” (Fatwa Islam, no. 126316) . Artinya apa dong? Ya artinya bahwa jika ada kajian tentang pengelolaan penghasilan istri, berarti bekerjanya pun bukan suatu larangan (dengan syarat tertentu). Analoginya begini. Maling itu tindakan yang jelas dilarang, haram. Maka tidak ada pembahasan khusus tentang duit hasil permalingan, yang memang sudah jelas-jelas haram, karena pekerjaanya pun memang haram.
Mungkin tulisan ini masih jauh dari sempurna, karena memang banyak sekali aspek-aspek yang harus kita bahas lagi. Silahkan jika ada yang ingin melengkapi baik di komentar atau postingan dengan topik yang sama. Spirit tulisan ini sekali lagi adalah agar kita mencoba saling memahami. Akan menjadi ibu yang bekerja di luar rumah (WM) atau menjadi ibu yang full dirumah (FTM), semuanya dikembalikan pada pilihan masing-masing, dan semuanya memiliki tanggung jawab yang tidak ringan.
Sebagai penutup tulisan ini, ada baiknya kita menilik saling korespondensi yang begitu apik antara seorang ibu bekerja dan ibu rumah tangga, di sini. Sungguh, semangat yang perlu kita tiru untuk saling bersinergi, bukan menghakimi :)
No comments:
Post a Comment